Berbagi
Cerita, Saya Kena Covid 19 Kedua Kalinya (Seri 02) :
Semua
Serba Dilema …
Kami
istirahat sepanjang siang sampai sore. Sempat memesan makanan secara online. Namun
selera makan seperti hilang dan tidak lagi ada nafsu untuk menikmatinya. Sore itu
istri saya coba pesan obat secara online pula. Ada obat antibiotic dan ada juga
paracetamol. Nara diminta minum obat tersebut untuk meredakan penyakitnya. Saya
pun ambil obat-obatan di toko untuk menolong kondisi saya. Saya mengambil obat
penurun panas dan pereda flu. Sempat minum obat herbal cair pereda masuk angin
dan sakit tenggorokan. Apapun saya lakukan untuk meredakan sakit ini.
Entah apa sebabnya kok tiba-tiba drop seperti ini. Padahal
hari Minggu malam saya masih melayani di gereja. Saya masih menyampaikan kotbah
sesuai jadwal yang diberikan oleh gereja. Keesokan harinya juga masih tetap
sehat dan aman untuk beraktivitas di sekolah. Namun ibarat binatang melata,
penyakit ini pun mulai merayap. Pelan tapi pasti. Apalagi harus diakui cuaca di
Surabaya sedang tidak bagus. Perubahan cuaca yang tiba-tiba panas sekali,
membuat orang mudah haus. Tenggorokan kering. Orang pun berlomba mencari pelega
tenggorokan apapun itu.
Namun di tengah cuaca yang panas dan menyengat, tiba-tiba
saja matahari bersembunyi sebelum waktunya. Cuaca menjadi mendung, padahal
tidak ada tanda hujan. Hal inilah yang menyebabkan orang mudah untuk mengalami
gangguan kesehatan. Kata orang-orang masa-masa ini disebut pancaroba. Namun pancarobanya
terasa ekstrim sekali. Tidak heran perubahan musim ini diikuti pula dengan
munculnya musim orang sakit. Satu per satu kabar berseliweran teman-teman yang
sakit karena perubahan cuaca ini. Sebagian besar ya mengalami demam, flu,
radang dan sakit kepala.
Saya yang berusaha mencegah datangnya sakit pun akhirnya
tumbang juga. Rabu malam itu kondisi saya makin tidak menentu. Tenggorokan makin
terasa sakit. Badan terasa demam. Batuk-batuk mulai tak berhenti. Istri dan
anak pun mengalami keluhan yang hampir serupa. Mau bagaimana lagi, besok tentu
tidak memungkinkan untuk masuk. Kami mencoba bertahan untuk istirahat malam sambal
melihat kondisi keesokan harinya.
Paginya,
kondisi Kesehatan kami belum membaik. Saya sudah mendapatkan ijin dari Kepala
Sekolah untuk boleh tidak masuk mengajar hari Kamis. Tapi istri dan anak belum
mendapatkan ijin dari Kepala Sekolah mereka. Kamis pagi itu pun istri ijin
untuk tidak mengajar sekaligus minta diperbolehkan supaya Nara tidak mengikuti
pelajaran hari itu. Saya merasa kami butuh waktu untuk istirahat. Sekalipun belum
tahu sampai kapan. Pokoknya istirahat dulu.
Saya tidak mencurigai apapun dari kondisi yang kami alami
selain karena perubahan cuaca yang terasa ekstrim. Kami berusaha mengobati
semampu kami. Sesuai obat yang ada. Sesekali minum larutan penyegar untuk
meredakan sakit di tenggorokan. Namun sekian waktu kami obati, makin belum reda
sakit yang kami alami. Mungkin masih proses, itu yang saya pikirkan. Saya tidak
berpikiran yang berlebihan selain karena perubahan cuaca yang membuat kami
drop. Toh, banyak juga yang mengalami kondisi yang serupa.
Sekitar jam 10.00 siang, Kepala Sekolah SD yaitu Bu Veny
menghubungi istri. Beliau menyarankan supaya kami melakukan tes PCR atau swab. Beliau
menyarankan hal tersebut untuk mengantisipasi segala sesuatunya. Apalagi ada
salah seorang muridnya istri yang beberapa hari sebelumnya dinyatakan positif terpapar
Covid 19. Murid ini sejak hari Senin tidak masuk sekolah. Kepala sekolah
menyarankan pada istri untuk tes swab oleh karena dia adalah guru kelas dari
murid itu. Bisa juga disebut sebagai pihak yang kontak erat secara langsung dengan
orang yang terpapar Covid.
Bu Veny menyarankan untuk kami tes swab di Puskesmas
Dukuh Kupang. Jauh sekali lokasinya dengan tempat tinggal kami. Bukan tanpa
alasan lokasi itu dipilih, Puskesmas Dukuh Kupang merupakan Puskesmas yang
menaungi fasilitas kesehatan sekolah kami. Saya pun coba menawar pada istri
untuk swab di lokasi yang tidak jauh dari rumah saja. Saya tidak tahu dimana
dan berapa biayanya. Kami coba browsing dan menghubungi fasilitas medis
terdekat.
RS Eka Husada yang berada satu kecamatan dengan tempat
tinggal kami, ketika kami hubungi tidak ada pihak yang respon. Kami coba
hubungi RS Surya Medika tempat saya dua tahun lalu dirawat karena Covid, juga
tidak bisa melayani swab. Hari itu pelayanan tes swab masih libur katanya. Kami
coba hubungi Puskesmas Menganti dan Kepatihan pun sama-sama tidak mau melayani.
Alasan mereka, hanya mau melayani tes swab pada yang kontak erat dengan pasien
Covid saja.
Saya sebetulnya malas untuk tes swab. Selain karena harus
ke Puskesmas Dukuh Kupang yang jaraknya jauh. Sekedar diketahui, rumah tinggal kami
di Menganti, Gresik. Di sisi lain, saya ini termasuk yang berusaha menghindari
tes swab. Saya merasa tidak senang merasakan ada sesuatu yang dimasukkan ke
hidung. Saya tidak terbiasa dan sebisanya coba hindari. Saya memang takut swab.
Pertama kali dan terakhir swab, justru saat saya ada dalam perawatan di ruang
isolasi Covid. Dua tahun lalu. Sudah lama sekali.
Saya berusaha menepis bahwa yang kami alami ini hanya
karena perubahan cuaca. Tidak perlu tes swab. Namun karena istri diminta dengan
keras dan serius oleh Kepala Sekolah, maka mau tidak mau harus melaksanakan. Kalau
istri yang diminta, tentu harus satu paket dengan suami dan anak. Bukankah kami
juga ada dalam lingkungan kerja dan tinggal di tempat yang sama pula. Mau tidak
mau. Suka atau tidak suka. Setuju atau tidak setuju. Saya pun membulatkan hati
untuk sepakat tes swab. Tidak boleh tes antigen, harus PCR. Mau bagaimana lagi.
Saya harus menjalani situasi yang tidak bisa saya hindari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar